Welcome To Blog YULIUS SUMIANTO Please Leave Your Comments Thank You

kalau tidak ada, cari di sini aja

Kamis, 26 April 2012

REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA DALAM ERA GLOBALISASI”

REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA
DALAM ERA GLOBALISASI”
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Reformasi Administrasi negara dewasa ini semakin banyak menjadi sorotan. Secara empiris, gejala ini disebabkan oleh perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya globalisasi, memaksa semua pihak, utamanya birokrasi pemerintah, untuk melakukan revisi, perbaikan dan, mencari alternatif baru tentang sisitem administrasi Negara yang cocok dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman.
Sekarang ini tampaknya ada issue yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintsh di kebanyakan negara berkembang. Pandangan pertama menganggap bahwa birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga masyarakat dari “bencana” banjir ekonomi maupun politik. Bagaikan dilengkapi oleh militer dan partai politik yang kuat, organisasi pemerintah merupakan dewa penyelamat dan merupakan satu-satunya organ yang dikagumi masyarakat. Pandangan ini didasarkan atas asumsi bahwa di dalam mengolah sumber daya yang dimiliki, organisasi ini mengerahkan para intelektual dari bermacam latar belakang pendidikan sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin, Jadi, mereka berkesimpulan bahwa birokrasi pemerintah memegang peranan utama, bahkan peran tunggal dalam pembangunan suatu negara.
Pada sisi lain, pandangan kedua menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Bahkan hampir selalu birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan buruk koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering bertindak korupsi. Para aparatnya kurang dapat menyesuaikan diri dengan moderenisasi orientasi pembangunan serta perilakunya kurang inovatif dan tidak dinamis. Dalam keadaan semacam ini, pemerintah biasanya mendominasi seluruh organ politik dan menjauhkan diri dari masyarakat.
Berdasarkan dari kedua pandangan tersebut di atas, bahwa pada pandangan pertama mungkin diilhami oleh suatu pengharapan yang muluk-muluk dan berlebihan, yang dewasa ini mungkin sudah sangat jarang ditemukan, sedangkan pada pandangan kedua merupakan suatu pandangan merupakan suatu pandangan yang berlebihan yang didasrkan pada prasangka buruk. Bisa juga terjadi yang kedua pandangan tersebut bertentangan satu sama lain yang didasarkan pada pengamatan yang mendalam dan evaluasi terhadap kondisi nyata aparaur pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebihan terhadap peran birokrasi pembangunan sangatlah tidak adil. Selalu saja jika terjadi kegagalan dalam usaha pembangunan, birokrasi dipandang sebagai keladinya. Kegagalan pembangunan memang sebaian besar merupakan tanggung jawab birokrasi, namun bukanlah semuanya. Bahkan di beberapa negara, kekurangefisienan administrasi negara tidak dianggap sebagai “dosa besar” terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi harapan pembangunan di dalam memenuhi harapan pembangunan atau pu realisai tujuan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Pemabangunan.
1.2. Perumusan Masalah
Kebutuhan akan perubahan dan adaptasi aparatur pemerintah sangatlah mendesak, walaupun masalah yang dihadapi begitu kompleks dan rumit. Konsekuensi logisnya, maka reformasi administrasi negara-negara sedang berkembang menjadi suatu keharusan dan menjadi perhatian utama pemerintah negara sedang berkembang.
1.3. Pembatasan Masalah
Strategi-strategi birokrasi pemerintah dalam upaya reformasi administrasi negara dalam era globalisasi terutama bagi negara-negara sedang berkembang.
1.4. Tujuan Penulisan
Memberikan penjelasan yang seefisien mungkin bagaimana administrasi negara suatu organisasi pemerintah dalam menghadapi era globalisasi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman.
1.5 Manfaat Penulisan
Dapat mempunyai pandangan yang positif dan hal-hal yang perlu dilakukan birikrasi pemerintah administrasi negara dalam era globalisasi, khususnya di negara-negara sedang berkembang.
II. PEMBAHASAN
2.1. Reformasi Administrasi Negara dalam Era Globalisasi
Pengertian Reformasi Administrasi Negara dalam Era Globalisasi adalahperubahan yang terencana terhadap pelaksanaan peran elit penguasa (militer, birokrasi, parpol, teknokrat, dan lain-lain) dalam pencapian tujuan negara memlalui berbagai fase globalisasi yaitu fase embrio, pertumbuhan, take off, perjuangan hegemoni, ketidakpastian dan kebudayaan global. Perubahan yang terencana terhadap pelaksanaan pelaksanaan peran pemerintah disesuaikan pada situasi dan kondisi fase-fase globalisasi (Fase I-VI). Secara tradisional bahwa reformasi administrasi negara adalah menyempurnakan administrasi negara itu sendiri.
Ada beberapa kegiatan reformasi administrasi negara yang dianggap sukses dalam mencapai tujuan negara yaitu:
Pertama, reformasi administrasi negara diperkenalkan di negara sedang berkembang sebagai suatu akibat perubahan dalam sistem politik dan dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan perubahan sisitem hukum. Seperti di Brazilia di bawah pemerintahan Gestulio Vargas, Republik Persatuan Arab, Ghana, dan Tanzania.
Kedua, reformasi administrasi negara yang termasuk efektif adalah yang berkenaan dengan dengan perubahan institusi pemerintah. Kasusu yang menarik adalah penyatuan beberapa “state” ke dalam negara federal di India pada tahun 1948-1957, yang kemudian diikuti dengan penggabungan beberapa institusi.
Ketiga, reformasi administrasi negara mungkin diawali oleh pihak luar. Di kebanyakan negara sedang berkembang dimana organisasi internasional dan pemerintah negara asing sangat aktif untuk melakukan perbaikan administrasi pemerintahan melalui program bantuan teknis, reformasi admnistrasi negara mulai dicobamasukkan ke dalam kebijakan pemerintahan setempat. Seperti para tenaga ahli dan konsultan asing beserta counterpart-nya sudah memainkan perannya di dalam perencanaan, pemrograman, dan implementasi reformasi administrasi negara.
Dewasa ini belum ada basis teoritis yang cukup handal untuk menentukan kapan reformasi administrasi negara dilaksanakan. Ada 3 pendekatan yang dipkai sebagai pegangan (Soesilo Zauhar, 1996) yaitu :
1. Luasnya tujuan yang hendak dicapai dalam program reformasi administrasi negara.
2. Program reformasi administrasi negara dievaluasi dalam bentuk seberapa besar perubahan organisasi dapat mencapai tujuannya.
3. Untuk mengukur kualitas kebijaksanaan negara yaitu didasarka pada aspek-aspek proses kebijaksanaan seperti polanya, strukturnya, masukannya, dan sebagainya.
2.2. Tujuan Reformasi Administrasi Negara
Dror berpendapat bahwa tujuan reformasi administrasi negara adalah :
a. Efisiensi admonistrasi, dalam arti penghematan uang yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi dan kegiatan organisasi metode lain.
b.Penghapusan kelemahan atau penyakit administrasi negara sepeti korupsi, pilih kasih dan sistem teman dalam sisitem politki , dan lain-lain.
c. Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemakaian PPBS, pemrosesan data melaui sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah dan lain-lain.
d. Menyesuaikan sistem administrasi negara terhadap meningkatnya keluhan masyarakat.
e. Mengubah pembagian kerja antara sistem administrasi negara dan sistem politik, seperti meningkatkan otonomi profesional dari sistem administrasi negara dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan.
f. Mengubah hubungan antara sisitem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan (sentralisasi versus desentralisasi, demokratisasi dan lain-lain.
2.3. Reformasi Administrasi Negara dalam Model Birokrasi
a. Reformasi Administrasi Negara dalam Birokrasi Terbuka
Birokrasi terbuka di kebanyakan negara sedang berkembang secara terus-menerus memerlukan keteraturan. Kerangka prosedur administrasi sangat diperlukan. Lembaga-lembaga pemerintah atau penciptaan lembaga lain, dalam batas-batas tertentu adalaf reformasi admistrasi dalam artian sempit (Siagian,1993).
Namun di lain pihak birokrasi masih juga diperlukan. Pada tahap awal kegitan, prosedur, dan struktur organisasi haruslah sederhana, sehingga tidak akan menjadi penghalang bagi refirmasi berikutnya. Pada masa rezim pasca Soekarno di mana keteraturan mendapat prioritas yang sangat tinggi, pembentukan infra strukur administrasi negara harus segera diikuti dengan reformasi yang sifatnya progmatik, karena kalau tidak akan terlalu banyak infrastruktur yang justru mencekik perkembangan sektor lain.
b. Reformasi Administrasi Negara dalam Birokrasi Tertutup
Birokrasi terttutp di kebanyakan negara sedang berkembang, perlu segera dibuka agar tuntutan perubahan sebagai akibat logis dari perkembangan alamiah, dapat terpenuhi. Apabila birokrasi tertutup di negara-negara brkembang diciutkan, ada kecenderungan terjadi hilangnya fleksibilitas, sehingga birokrasi tersebut bertambah tertutup dan kaku. Kecenderungan semacam ini sering terjadi manakala birokrasi di negara berkembang mencoba mengidentikkan atau menyamakan penciutan birokrasi dengan reformasi administrasi negara.
Reformasi yang benar seharusnya dilakukan di negara sedang berkembang adalah yang bersifat progmatik. Jadi, apabila pemerintah melansir suatu program subtantif seperti program pertanian, ekonomi, politik, pendidikan, pembangunan masyarakat desa dan lain-lain, memobilisasikan sebaian sumber daya insani dan keuangan serta melenturkan struktur dan prosedur organisasi untuk melaksanakan program tersebut, maka kegiatan ini diebut reformasi administrasi negara.
c. Reformasi Administrasi Negara dalam Birokrasi Campuran
Birokrasi campuran di kebanyakan negara sedang berkembang, secara pelan tapi pasti, sifat ketertutupan berangsur-angsur berkurang, walaupun belum am pai taraf terbuka. Birokrasi ini dituntut untuk terus membuka diri sembari menungkatkan efisiensinya. Reformasi yang diperlukan dalam birokrasi campuran adalah birokrasi yang sifatnya progmatik dan teknis (Soesilo Zauhar, 1996).
2.4. Strategi-Strategi dalam Reformasi Admonistrasi Negara
Usaha untuk memperjelas beragam reformasi administrasi negara adalah dengan melakukan dikotominasi strategi dan matriks strategi.
1. Dikotominasi Strategi dalam Reformasi Administrasi Negara
Yang dimaksud dengan dikotomonasi adlah pembagian dalam kedua kelompok yang saling bertentangan (KBBI, 1990). Dengan dikotominasi itu diharapkan akan memperoleh kejelasan tentang pervedaan ruang lingkup, kelemahan, dan kekuatan masing-masing strategi tersebut. Pendekatan pokok strategi reformasi administrasi negara tersebut adalah : pendekatan makro versus mikro, pendekatan struktural versus perilaku, balanced versus shock oriented, inkremental versus inovatif, dan komprehensif versus parsial.
a. Pendekatan Makro versus Mikro
Di dalam kepustakaan reformasi administrasi negara masih terdapat pertentangan yang tak kunjung henti. Mereka yang sependapat denga pendekatan mikro mengatakan bahwa sebagian negara berkembang gagal menerapkanpembaruan administratif secara komprehensif (makro) karena sebagian besar dari mereka belum memiliki persyaratan yang diperlukan. Sebaliknya mereka yang sependapat dengan pendekatan makro mengatakan kompleksitas dan ketergantungan faktor administratif memaksa diperlukannya pembaruan yang menyeluruh. Program yang bersifat menyeluruh ini harus dibuat untuk menaggulangi perkembangan yang terjadi dalam keseluruhan tubuh administrasi negara serta untuk memberi prinsip dan kerangka umum bagi pendekatan parsial (bagian dari keseluruhan administrasi tersebut). Dengan kata lain, mereka yang sependapat dengan pendekata mikro menyatakan bahwa pembaruan secara selektif dapat menjadi dasar bagi perubahan pada masa yang akan datang. Dalam penyempurnaan administasi terhadap satuan organisasi, tidak ada satu organisasi yang mampu berdiri sendiri dan nerperan di dalam proses pembangunan nasional. Ia harus dipandang dalam kaitannya dengan organisasi atau badan lain yang bisa menjadi penghambat atauoun pendorong bagi pembaruan administrasi secara menyeluruh.
Begitu juga mereka yang sependapat dengan pendekatan makro menyatakan bahwa semua rencana yang menyeluruh pasti terdiri dari proyek individual (Satuan dasar Administrasi Negara adalah individual).
b. Pendekatan Struktural versus Pendekatan Perilaku
Kecenderungan dari para struturalis kurang memperhatikan aspek perilaku di dalam pembaruan administrasi, sebaliknya para perkiulis (behavioralis) kurangnya perhatian terhadap aspek struktural di dalam pembaruan reformasi administrasi negara.
Kelemahan utama dari pendekatan struktural adalah sifatnya yang statis dan kefanatikannya terhadap dogma organisasi. Begitu juga pendekatan perilaku cenderung statis karena sebagian dari mereka beranggapan bahwa ciri-ciri umum perilaku organisasi sulit untuk dioperasikan.
Dengan kata lain para strukturalis sadar bahwa dampak yang ditimbulkannya sangat terbatas apabila tidak dibarengi dengan usaha-usaha untuk mempengarihi perilaku anggota atau kelompok yang ada dalam organisasi pemerintah. Sebaliknya para perilakulis berpendapat bahwa pelaksanaan pemerintahan dan perubahan yang terjadi dalam tubuh pemerintah, tak terlepas dari pengaruh lingkingan yang ada di sekitarnya.
Selanjutnya pendekatan balanced versus shock oriented, inkremental versus inovatif, dan komprehensif versus parsial merupakan strategi yang intinya memperoleh kejelasan dua pendapat yang saling bertentangan tentang pembaruan, ruang lingkup, kelemahan dan kekuatan di dalam reformasi administrasi negara bagi negara-negara sedang berkembang.
2. Matriks Strategi dalam Reformasi Administrasi Negara
Matriks ini memeperhatikan pendekatan mikro da pendekatan makro yang ada di dalam pembaruan administrasi, yaitu kuat dan lemahnya kepemimpinan politik serta tepat ridaknya waktu pembaruan. Matriks itu terdiri dari 2 dimensi yaitu :
a. Kepemimpinan (kuat dan lemah);
b. Waktu (tepat dan tidak tepat atau menguntungkan dan tidak menguntungkan atau) (Hahn Been Lee, dikutip oleh Soesilo Zauhar, 1996).
Dengan kata lain bahwa jika waktu tidak menguntungkan dan kepemimpinan lemah, maka diperlukan startegi selektif atau pendekatan mikro. Sebaliknya apabila kepemimpinan kuat dan waktu menguntungkan, maka diperlukan strategi komprehensif (menyeluruh), sedangkan jika situasi dimana waktu menguntungkan dan kepemimpinan lemah maka tidak ada strategi alternatif.
III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Reformasi Administrasi Negara dalam Era globalisasi adalah perubahan yang terancana terhadao pelaksanaan berupa kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuat oleh elit penguasa (militer, birokrasi, partai politik, teknokrat, pemimpin yang dominan dan dimensi manusia) untuk melakukan revisi, perbaikan birokrasi pemerintah serta mencari alternatif baru tentang sistem administrasi negara yang lebih cocok dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman di negara-negara sedang berkembang.
Dengan kata lain, bahwa reformasi yang benar yang seharusnya dilakukan negara-negara sedang berkembang adalah sifatnya progmatik artinya pemerintah (elit penguasa) melansir suatu program substantif .
Keberhasilan atau kegagalan reformasi administrasi negara sangat tergantung pada : 1. Agen Pembaru (Change Agent), 2. Dukungan dan komitmen dari pemimpin politik, 3. Lingkungan Sosial dan Ekonomi, dan 4. Waktu yang tepat. Selain itu sifat dan ruang lingkup reformasi administrasi negara juga tergantung pada tersedianya sumber daya baik dana maupun tenaga. Ringkasnya, reformasi administrasi negara tidak menambah yang sudah ada, tetapi hanya merealokasikan sumbr daya yang sudang ada.

PROSES PEMBUATAN UNDAN-UNDANG

                        Bab VI                                                                    
    Tata Cara Pembentukan Undang-undang                                 

Bab VI
Tata Cara Pembentukan Undang-undang

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 99

  1. Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
  2. Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau DPD.
  3. Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Presiden.
  4. Rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  5. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademis.

Pasal 100

Apabila ada 2 (dua) rancangan undang-undang yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu masa sidang, yang dibicarakan adalah rancangan undang-undang dari DPR, sedangkan rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

Pasal 101

  1. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) disusun berdasarkan Prolegnas.
  2. Dalam keadaan tertentu, hanya DPR dan Presiden yang dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas.

Pasal 102

  1. Rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
  2. Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undangundang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Bagian Kedua

Penyusunan dan Penetapan, serta Penyebarluasan Prolegnas

Paragraf 1

Penyusunan dan Penetapan

Pasal 103

  1. Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh Badan Legislasi.
  2. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh Badan Legislasi.

Pasal 104

  1. Badan Legislasi dalam menyusun Prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, DPD, dan/atau masyarakat.
  2. Badan Legislasi meminta usulan dari fraksi, komisi, atau DPD paling lambat 1 (satu) masa sidang sebelum dilakukan penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh fraksi, komisi, atau DPD paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja dalam masa sidang sebelum dilakukan penyusunan Prolegnas.
  4. Usulan dari fraksi atau komisi disampaikan oleh pimpinan fraksi atau pimpinan komisi kepada pimpinan Badan Legislasi.
  5. Usulan dari DPD disampaikan oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan oleh pimpinan DPR disampaikan kepada Badan Legislasi.
  6. Usulan dari masyarakat disampaikan kepada pimpinan Badan Legislasi.
  7. Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis dengan menyebutkan judul rancangan undang-undang disertai dengan alasan yang memuat:
    1. urgensi dan tujuan penyusunan;
    2. sasaran yang ingin diwujudkan;
    3. pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan
    4. jangkauan serta arah pengaturan.
  8. Judul sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diinventarisasi oleh Sekretariat Badan Legislasi, selanjutnya dibahas dan ditetapkan oleh Badan Legislasi untuk menjadi bahan koordinasi dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.

Pasal 105

Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1), Badan Legislasi dapat mengundang pimpinan fraksi, pimpinan komisi, pimpinan alat kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi, dan/atau masyarakat.

Pasal 106

  1. Badan Legislasi melakukan koordinasi dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan guna menyusun dan menetapkan Prolegnas untuk jangka waktu tertentu.
  2. Prolegnas untuk jangka waktu tertentu terdiri atas:
    1. Prolegnas jangka panjang 20 (dua puluh) tahun;
    2. Prolegnas jangka menengah 5 (lima) tahun; dan
    3. Prolegnas prioritas tahunan.
  3. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka panjang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  4. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka panjang.
  5. Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.
  6. Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara.
  7. Penyusunan dan penetapan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan kegiatan:
    1. rapat kerja;
    2. rapat panitia kerja;
    3. rapat tim perumus; dan/atau
    4. rapat tim sinkronisasi.
  8. Dalam pembahasan Prolegnas, penyusunan daftar rancangan undang-undang didasarkan atas :
    1. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    3. perintah undang-undang lainnya;
    4. sistem perencanaan pembangunan nasional;
    5. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
    6. rencana pembangunan jangka menengah;
    7. rencana kerja pemerintah; dan
    8. mengakomodasi aspirasi masyarakat.
  9. Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan, selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan memperhatikan:
    1. pelaksanaan Prolegnas tahun sebelumnya;
    2. tersusunnya naskah rancangan undang-undang; dan/atau
    3. tersusunnya naskah akademik.
  10. Hasil penyusunan Prolegnas antara Badan Legislasi dan Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disepakati menjadi Prolegnas dan selanjutnya dilaporkan oleh Badan Legislasi dalam rapat paripurna untuk ditetapkan.
  11. Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (10) ditetapkan dengan keputusan DPR.

Paragraf 2

Penyebarluasan

Pasal 107

  1. Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (11) disampaikan kepada Presiden, DPD, dan masyarakat.
  2. Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh:
    1. Badan Legislasi kepada anggota, fraksi, komisi, dan masyarakat;
    2. Pimpinan DPR kepada pimpinan DPD; dan
    3. menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundangundangan kepada instansi Pemerintah dan masyarakat.
  3. Penyebarluasan Prolegnas kepada masyarakat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, dan/atau media lainnya.

Paragraf 3

Rancangan Undang-Undang yang diajukan di luar Prolegnas

Pasal 108

  1. Rancangan undang-undang yang diajukan di luar Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) disertai dengan konsepsi pengaturan rancangan undang-undang yang meliputi:
    1. urgensi dan tujuan penyusunan;
    2. sasaran yang ingin diwujudkan;
    3. pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan
    4. jangkauan serta arah pengaturan.
  2. Konsepsi pengaturan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam naskah akademik.
  3. Rancangan undang-undang yang diajukan di luar Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
    2. mengisi kekosongan hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
    3. mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; atau
    4. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu rancangan undang-undang yang dapat disepakati oleh Badan Legislasi dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
  4. Rancangan undang-undang yang diajukan di luar Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu disepakati oleh Badan Legislasi dan selanjutnya Badan Legislasi melakukan koordinasi dengan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan persetujuan bersama, dan hasilnya dilaporkan dalam rapat paripurna untuk ditetapkan.

Bagian Ketiga

Penyusunan Rancangan Undang-Undang

Pasal 109

  1. Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai usul inisiatif.
  2. Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh 1 (satu) orang anggota atau lebih.
  3. Rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat didukung oleh anggota lain, dengan membubuhkan tanda tangan.
  4. Rancangan undang-undang yang diajukan oleh komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan terlebih dahulu dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, atau rapat Badan Legislasi.

Pasal 110

Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 disusun berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan.

Pasal 111

Konsepsi dan materi rancangan undang-undang yang disusun oleh DPR, Presiden, atau DPD harus selaras dengan falsafah negara Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 112

  1. Anggota, komisi, gabungan komisi, dan Badan Legislasi dalam mempersiapkan rancangan undang-undang terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam rancangan undang-undang.
  2. Rancangan undang-undang tentang APBN, rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undangundang, rancangan undang-undang tentang pengesahan perjanjian internasional, atau rancangan undang-undang yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, dapat disertai naskah akademik.
  3. Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sekurangkurangnya memuat:
       Judul
       Bab I
         a. Pendahuluan.
         b. Latar belakang.
         c. Identifikasi masalah.
         d. Tujuan dan kegunaan.
         e. Metode penelitian.
       Bab II Asas-asas yang digunakan dalam penyusunan norma.
       Bab III Materi muatan rancangan undang-undang dan keterkaitannya dengan hukum positif.
       Bab IV Penutup.
  4. Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan lampiran draf awal rancangan undang-undang.

Pasal 113

  1. Dalam penyusunan rancangan undang-undang, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat membentuk panitia kerja.
  2. Keanggotaan panitia kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR yang membentuknya dengan sedapat mungkin didasarkan pada perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
  3. Panitia kerja yang ditetapkan oleh alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak berjumlah separuh dari jumlah anggota alat kelengkapan yang bersangkutan.
  4. Anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dalam penyusunan rancangan undang-undang dibantu oleh badan fungsional.

Pasal 114

Dalam penyusunan rancangan undang-undang, anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi rancangan undang-undang.

Bagian Keempat

Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Undang-Undang

Pasal 115

Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undangundang meliputi aspek teknis, substansi, dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pasal 116

  1. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undangundang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari masa sidang sejak rancangan undang-undang diterima Badan Legislasi.
  2. Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada akhir masa sidang kurang dari 10 (sepuluh) hari, sisa hari dilanjutkan pada masa sidang berikutnya.
  3. Dalam hal rancangan undang-undang disampaikan pada masa reses, 10 (sepuluh) hari dihitung sejak pembukaan masa sidang berikutnya.

Pasal 117

  1. Untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115, Badan Legislasi dapat membentuk panitia kerja.
  2. Dalam hal Badan Legislasi menemukan permasalahan yang berkaitan dengan teknis, substansi, dan/atau asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan, Badan Legislasi membahas permasalahan tersebut dengan mengundang pengusul.
  3. Dalam hal rancangan undang-undang diusulkan oleh komisi atau gabungan komisi, pengusul diwakili oleh unsur pimpinan dan/atau anggota.
  4. Dalam hal rancangan undang-undang diusulkan oleh anggota, pengusul diwakili oleh paling banyak 4 (empat) orang.

Pasal 118

  1. Apabila dalam pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang memerlukan perumusan ulang, perumusan dilakukan oleh Badan Legislasi bersama dengan unsur pengusul dalam panitia kerja gabungan, yang penyelesaiannya dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) kali dalam masa sidang.
  2. Penentuan mengenai perumusan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam rapat Badan Legislasi.
  3. Pengusul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak berjumlah 4 (empat) orang.
  4. Rapat Badan Legislasi mengambil keputusan terhadap hasil perumusan ulang rancangan undang-undang.
  5. Pada setiap lembar naskah rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibubuhkan paraf pimpinan Badan Legislasi dan satu orang yang mewakili pengusul.

Pasal 119

  1. Rancangan undang-undang yang telah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi, diajukan oleh pengusul kepada pimpinan DPR dengan dilengkapi keterangan pengusul dan/atau naskah akademik untuk selanjutnya disampaikan dalam rapat paripurna.
  2. Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Badan Legislasi dianggap telah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang.

Bagian Kelima

Usul Rancangan Undang-Undang dari DPD

Pasal 120

  1. Rancangan undang-undang dari DPD diajukan berdasarkan Prolegnas Prioritas Tahunan.
  2. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik.
  3. Usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Badan Legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undangundang.
  4. Badan Legislasi dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan undangundang, untuk membahas usul rancangan undang-undang.
  5. Badan Legislasi menyampaikan laporan mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.

Pasal 121

  1. DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (5) dalam rapat paripurna berikutnya, berupa:
    1. persetujuan;
    2. persetujuan dengan pengubahan; atau
    3. penolakan.
  2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada pimpinan DPD.
  3. Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, rancangan undang-undang tersebut menjadi rancangan undangundang usul dari DPR.
  4. Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan dengan pengubahan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, rancangan undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR menugaskan penyempurnaan rancangan undang-undang tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus.
  5. Pimpinan DPR menyampaikan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau rancangan undang-undang yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Presiden dan pimpinan DPD, dengan permintaan kepada Presiden untuk menunjuk menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undangundang serta kepada DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang akan ikut membahas rancangan undang-undang tersebut.
  6. Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari DPD belum menunjuk alat kelengkapan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pembahasan rancangan undang-undang tetap dilaksanakan.

Bagian Keenam

Penyempurnaan Rancangan Undang-Undang

Pasal 122

  1. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dan Pasal 121 ayat (3) diputuskan menjadi rancangan undang-undang dari DPR dalam rapat paripurna, setelah terlebih dahulu fraksi memberikan pendapatnya.
  2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. persetujuan tanpa perubahan;
    2. persetujuan dengan perubahan; atau
    3. penolakan.
  3. Rapat paripurna dengan tegas mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan tata cara pengambilan keputusan.
  4. Dalam pendapat fraksi secara tegas menyatakan persetujuan, persetujuan dengan perubahan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  5. Dalam hal pendapat fraksi menyatakan persetujuan tanpa perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, rancangan undang-undang langsung disampaikan kepada Presiden.
  6. Dalam hal fraksi menyatakan persetujuan dengan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, usul perubahan tersebut dengan tegas dimuat dalam pendapat fraksi.
  7. Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dimaksudkan untuk penyempurnaan rumusan rancangan undang-undang.
  8. Dalam hal keputusan rapat paripurna tidak tegas menyatakan persetujuan dengan perubahan, rancangan undang-undang dianggap disetujui tanpa perubahan dan langsung disampaikan kepada Presiden.
  9. Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (8) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk menteri yang akan mewakili Presiden untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut bersama DPR.

Pasal 123

  1. Untuk penyempurnaan rumusan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (7), Badan Musyawarah menugaskan kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus.
  2. Penyempurnaan rumusan rancangan undang-undang yang ditugaskan kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus dilakukan dengan memperhatikan pendapat fraksi yang disampaikan dalam rapat paripurna.

Pasal 124

  1. Penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) didasarkan atas pertimbangan usul rancangan undang-undang dan materi muatan rancangan undang-undang dengan ruang lingkup komisi.
  2. Penugasan penyempurnaan diserahkan kepada komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai pengusul rancangan undang-undang.
  3. Dalam hal materi muatan rancangan undang-undang termasuk dalam ruang lingkup satu komisi, penyempurnaan ditugaskan kepada komisi tersebut.
  4. Dalam hal materi muatan rancangan undang-undang termasuk dalam ruang lingkup 2 (dua) komisi, penyempurnaan ditugaskan kepada gabungan komisi.
  5. Dalam hal materi muatan rancangan undang-undang termasuk dalam ruang lingkup lebih dari 2 (dua) komisi, penyempurnaan ditugaskan kepada Badan Legislasi atau panitia khusus.

Pasal 125

  1. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus melakukan penyempurnaan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari masa sidang.
  2. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, Badan Musyawarah dapat memperpanjang waktu penyempurnaan rancangan undang-undang berdasarkan permintaan tertulis pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus.
  3. Perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) hari masa sidang.
  4. Apabila setelah perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) penyempurnaan rancangan undang-undang yang belum selesai, rancangan undang-undang hasil keputusan rapat paripurna dianggap telah disempurnakan dan selanjutnya dikirimkan kepada Presiden.

Pasal 126

Dalam hal diperlukan masukan untuk penyempurnaan rancangan undang-undang, komisi, kabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus dapat mengadakan rapat dengar pendapat umum.

Pasal 127

  1. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus menyampaikan rancangan undang-undang hasil penyempurnaan dengan surat kepada pimpinan DPR.
  2. Rancangan undang-undang hasil penyempurnaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang tersebut dengan komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus.

Pasal 128

  1. Paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya surat tentang penyampaian rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (5) dan Pasal 127 ayat (2), Presiden menunjuk menteri yang ditugasi mewakili Presiden untuk membahas rancangan undang-undang bersama DPR.
  2. Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Presiden belum menunjuk menteri untuk membahas rancangan undang-undang bersama DPR, pimpinan DPR melaporkan dalam rapat paripurna untuk menentukan tindak lanjut.

Bagian Ketujuh

Pembahasan Rancangan Undang - Undang

Paragraf 1

Umum

Pasal 129

  1. Pembahasan rancangan undang-undang dilakukan berdasarkan tingkat pembicaraan.
  2. Tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
  3. Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
    1. Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi , rapat panitia khusus, atau rapat Badan Anggaran bersama dengan menteri yang mewakili Presiden.
    2. Tingkat II dalam rapat paripurna.
  4. Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a membahas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 130

  1. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran membahas rancangan undang-undang berdasarkan penugasan Badan Musyawarah.
  2. Penugasan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diputuskan setelah mempertimbangkan:
    1. pengusul rancangan undang-undang;
    2. penugasan penyempurnaan rancangan undang-undang;
    3. keterkaitan materi muatan rancangan undang-undang dengan ruang lingkup tugas komisi; dan
    4. jumlah rancangan undang-undang yang ditangani oleh komisi atau Badan Legislasi.

Pasal 131

  1. Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai pengusul rancangan undang-undang, diprioritaskan untuk ditugaskan membahas rancangan undang-undang.
  2. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) langsung bertugas membahas rancangan undang-undang.

Pasal 132

  1. Rancangan undang-undang yang materi muatannya termasuk dalam ruang lingkup satu komisi, penugasan pembahasannya diserahkan kepada komisi tersebut.
  2. Pembahasan rancangan undang-undang ditugaskan kepada Badan Legislasi atau panitia khusus, dengan ketentuan:
    1. jumlah rancangan undang-undang yang ditangani komisi telah melebihi jumlah maksimal;
    2. Komisi sedang menangani rancangan undang-undang yang mengandung materi muatan yang kompleks dan memerlukan waktu pembahasan yang lama; atau
    3. sebagian besar anggota komisi menjadi anggota pada beberapa panitia khusus.
  3. Rancangan undang-undang yang materi muatannya termasuk dalam ruang lingkup 2 (dua) komisi, pembahasannya ditugaskan kepada gabungan komisi.
  4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku terhadap penugasan pembahasan rancangan undang-undang kepada gabungan komisi.
  5. Rancangan undang-undang yang materi muatannya termasuk dalam ruang lingkup lebih dari 2 (dua) komisi, pembahasannya ditugaskan kepada Badan Legislasi atau panitia khusus.
  6. Ketentuan mengenai jumlah maksimal penugasan pembahasan rancangan undang-undang tetap berlaku terhadap Badan Legislasi.

Pasal 133

  1. Dalam hal penugasan pembahasan rancangan undang-undang diserahkan kepada komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi yang bukan pengusul atau panitia khusus, maka komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapatkan penugasan tersebut berkewajiban mengundang pengusul untuk memberikan penjelasan atau keterangan atas rancangan undangundang.
  2. Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, atau rapat panitia khusus sebelum pembahasan dengan Pemerintah, atau pada setiap rapat apabila dipandang perlu oleh komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus.
  3. Pengusul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwakili oleh pimpinan alat kelengkapan pengusul atau anggota pengusul paling banyak 4 (empat) orang.

Pasal 134

  1. Penugasan pembahasan rancangan undang-undang kepada komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi oleh Badan Musyawarah paling banyak 2 (dua) rancangan undang-undang pada waktu yang bersamaan, kecuali menyangkut pembahasan rancangan undang-undang mengenai:
    1. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
    2. pembentukan pengadilan tinggi;
    3. ratifikasi perjanjian internasional;
    4. rancangan undang-undang paket; dan
    5. rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang- undang.
  2. Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi, mendapat penugasan baru untuk membahas rancangan undang-undang setelah 1 (satu) rancangan undang- undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selesai dibahas pada Pembicaraan Tingkat I.

Pasal 135

Setiap anggota mendapatkan penugasan paling banyak 3 (tiga) rancangan undangundang pada waktu yang bersamaan, kecuali untuk pembahasan rancangan undangundang mengenai:
  1. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
  2. pembentukan pengadilan tinggi;
  3. ratifikasi perjanjian internasional; dan
  4. rancangan undang-undang paket.

Pasal 136

  1. Pembahasan rancangan undang-undang dalam Pembicaraan TingkatI dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
    1. pengantar musyawarah;
    2. pembahasan daftar inventarisasi masalah;
    3. penyampaian pendapat min i sebagai sikap akhir; dan
    4. pengambilan keputusan.
  2. Pembahasan rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dilakukan sesuai dengan mekanisme pembahasan dalam rapat Badan Anggaran.
  3. DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  4. Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
    1. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR;
    2. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR yang berkaitan dengan kewenangan DPD;
    3. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden; atau
    4. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden yang berkaitan dengan kewenangan DPD.
  5. Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
    1. Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR; atau
    2. DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden.
  6. Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir Pembicaraan TingkatI oleh:
    1. fraksi;
    2. DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD; dan
    3. Presiden.
  7. Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf d, Pembicaraan TingkatI tetap dilaksanakan.
  8. Dalam Pembicaraan TingkatI dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.

Pasal 137

Dalam pembahasan rancangan undang-undang komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, dan panitia khusus dibantu oleh badan fungsional.

Pasal 138

  1. Pembicaraan TingkatI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (3) huruf a dilakukan dalam:
    1. rapat kerja;
    2. rapat panitia kerja;
    3. rapat tim perumus/tim kecil; dan/atau
    4. rapat tim sinkronisasi.
  2. Dalam pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan mekanisme lain sepanjang disepakati oleh pimpinan dan anggota rapat.

Paragraf 2

Rapat Kerja

Pasal 139

Rapat kerja antara komisi, gabungan komisi, panitia khusus, atau Badan Anggaran bersama dengan menteri yang mewakili Presiden terlebih dahulu menyepakati jadwal rapat Pembicaraan TingkatI pembahasan rancangan undang-undang serta waktu penyusunan dan penyerahan DIM.

Pasal 140

  1. Pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus memberikan penjelasan atau keterangan atas rancangan undang-undang serta tanggapan terhadap DIM dan pertanyaan yang diajukan menteri, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR.
  2. Menteri yang mewakili Presiden untuk membahas rancangan undang-undang bersama dengan komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus memberikan penjelasan atau keterangan atas rancangan undang-undang serta tanggapan terhadap DIM dan pertanyaan yang diajukan fraksi/anggota, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden.
  3. Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta kepada fraksi atau anggota untuk memberikan penjelasan, keterangan, atau tanggapan.

Pasal 141

  1. Pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) kali masa sidang dan dijadwalkan oleh Badan Musyawarah serta dapat diperpanjang oleh Badan Musyawarah sesuai dengan permintaan tertulis pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus, untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) kali masa sidang.
  2. Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan pertimbangan materi muatan rancangan undang-undang yang bersifat kompleks dengan jumlah pasal yang banyak serta beban tugas dari komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus.
  3. Pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, dan pimpinan panitia khusus memberikan laporan perkembangan pembahasan rancangan undang-undang kepada Badan Musyawarah paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) masa sidang dan tembusan kepada Badan Legislasi.

Pasal 142

  1. Rapat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf a membahas seluruh materi rancangan undang-undang sesuai dengan DIM yang dipimpin oleh pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus dengan menteri yang mewakili Presiden dengan ketentuan:
    1. DIM dari semua fraksi atau DIM dari Pemerintah menyatakan rumusan “tetap”, langsung disetujui sesuai dengan rumusan;
    2. penyempurnaan yang bersifat redaksional, langsung diserahkan kepada tim perumus;
    3. dalam hal substansi disetujui tetapi rumusan perlu disempurnakan, diserahkan kepada Tim Perumus; atau
    4. dalam hal substansi belum disetujui, dibahas lebih lanjut dalam rapat panitia kerja.
  2. Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah tetap seperti rumusan dalam naskah rancangan undang-undang.
  3. Apabila dalam DIM fraksi terdapat kolom masalah yang kosong atau strip (-), dianggap tetap sesuai dengan rumusan dalam naskah rancangan undangundang.
  4. Dalam rapat kerja dapat dibahas substansi di luar DIM apabila diajukan oleh anggota atau menteri dan substansi yang diajukan mempunyai keterkaitan dengan materi yang sedang dibahas serta mendapat persetujuan rapat.
  5. Pembahasan rancangan undang-undang dalam rapat kerja komisi, rapat kerja gabungan komisi, rapat kerja Badan Legislasi, rapat kerja panitia khusus, atau rapat kerja Badan Anggaran lebih lanjut diserahkan kepada panitia kerja.

Pasal 143

  1. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran dapat meminta menteri yang mewakili Presiden membahas rancangan undangundang untuk menghadirkan menteri lainnya atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian dalam rapat kerja atau mengundang masyarakat dalam rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
  2. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, atau panitia khusus dapat mengadakan kunjungan kerja ke daerah dalam rangka mendapatkan masukan dari pemerintah daerah dan/atau masyarakat di daerah.
  3. Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran dapat mengadakan kunjungan kerja ke luar negeri dengan dukungan anggaran DPR dan persetujuan pimpinan DPR.
  4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dengan mempertimbangkan alasan yang dimuat dalam usulan rencana kunjungan kerja yang diajukan oleh komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran.
  5. Usulan rencana kunjungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurangkurangnya memuat:
    1. urgensi;
    2. kemanfaatan; dan
    3. keterkaitan negara tujuan dengan materi rancangan undang-undang.

Paragraf 3

Panitia Kerja

Pasal 144

  1. Panitia kerja dibentuk oleh komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran yang ditugaskan membahas rancangan undangundang yang keanggotaannya paling banyak separuh dari jumlah anggota alat kelengkapan yang membentuknya.
  2. Panitia kerja bertugas membahas substansi rancangan undang-undang atau materi lain yang diputuskan dalam rapat kerja komisi, rapat kerja gabungan komisi, rapat kerja Badan Legislasi, rapat kerja panitia khusus, atau rapat kerja Badan Anggaran.
  3. Rapat panitia kerja membahas substansi rancangan undang-undang berdasarkan DIM, yang dipimpin oleh salah seorang pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan Legislasi, atau pimpinan panitia khusus dengan menteri yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi rancangan undangundang yang sedang dibahas.
  4. Panitia kerja dapat membentuk tim perumus, tim kecil, dan/atau tim sinkronisasi.
  5. Keanggotaan tim perumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota panja.
  6. Keanggotaan tim kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota panja.
  7. Panitia kerja bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat kerja komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat panitia khusus, atau rapat Badan Anggaran.

Paragraf 4

Tim Perumus dan Tim Kecil

Pasal 145

  1. Tim perumus bertugas merumuskan materi rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf b dan huruf c sesuai dengan keputusan rapat kerja dan rapat panitia kerja dengan menteri yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
  2. Rapat tim perumus dipimpin oleh salah seorang pimpinan panitia kerja.
  3. Tim perumus bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat panitia kerja.

Pasal 146

  1. Tim kecil bertugas merumuskan materi rancangan undang-undang konsideran menimbang dan penjelasan umum atau sesuai dengan keputusan rapat kerja dan rapat panitia kerja dengan menteri yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
  2. Rapat tim kecil dipimpin oleh salah seorang pimpinan panitia kerja.
  3. Tim kecil bertanggung jawab dan melaporkan hasil kerjanya pada rapat panitia kerja.

Paragraf 5

Tim Sinkronisasi

Pasal 147

  1. Keanggotaan tim sinkronisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf d paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota panja.
  2. Tim sinkronisasi bertugas menyelaraskan rumusan rancangan undang-undang dengan memperhatikan keputusan rapat kerja, rapat panitia kerja, dan hasil rumusan tim perumus dengan menteri yang diwakili oleh pejabat eselon I yang membidangi materi rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
  3. Rapat tim sinkronisasi dipimpin oleh salah seorang pimpinan panitia kerja.
  4. Rancangan undang-undang hasil tim sinkronisasi dilaporkan dalam rapat panitia kerja untuk selanjutnya diambil keputusan.

Paragraf 6

Pengambilan Keputusan

Pasal 148

  1. Pengambilan keputusan rancangan undang-undang dalam rapat kerja dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
  2. Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur fraksi.
  3. Apabila dalam rapat panitia kerja tidak dicapai kesepakatan atas suatu atau beberapa rumusan rancangan undang-undang, permasalahan dilaporkan dalam Rapat Kerja untuk selanjutnya diambil keputusan.
  4. Apabila dalam rapat kerja tidak tercapai kesepakatan atas suatu atau beberapa rumusan rancangan undang-undang, pengambilan keputusan dilakukan dalam rapat paripurna setelah terlebih dahulu dilakukan pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 149

Pengambilan keputusan pada akhir Pembicaraan TingkatI, dilakukan dengan acara:
  1. pengantar pimpinan komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran;
  2. laporan panita kerja;
  3. pembacaan naskah RUU;
  4. pendapat akhir mini sebagai sikap akhir;
  5. penandatanganan naskah RUU; dan
  6. pengambilan keputusan untuk melanjutkan pada Pembicaraan TingkatII.

Pasal 150

  1. Hasil Pembicaraan TingkatI atas pembahasan rancangan undang-undang yang dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, panitia khusus, atau Badan Anggaran dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri dilanjutkan pada Pembicaraan TingkatII untuk mengambil keputusan dalam rapat paripurna yang didahului oleh :
    1. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan TingkatI;
    2. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
    3. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
  2. Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
  3. Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
  4. Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden yang diwakili oleh menteri, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
  5. Penyampaian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.